21.1.19

Mari Belajar Sejarah Ternate Hingga Perlawanan Rakyat Maluku

Kesultanan Ternate atau juga dikenal dengan Kerajaan Gapi adalah salah satu dari 4 kerajaan Islam di Kepulauan Maluku dan merupakan salah satu kerajaan Islam tertua di Nusantara. Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada tahun 1257. Kesultanan Ternate memiliki peran penting di kawasan timur Nusantara antara abad ke-13 hingga abad ke-17.
Kesultanan Ternate menikmati kegemilangan di paruh abad ke-16 berkat perdagangan rempah-rempah dan kekuatan militernya. Pada masa jaya kekuasaannya membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi bagian utara, timur dan tengah, bagian selatan kepulauan Filipina hingga sejauh Kepulauan Marshall di Pasifik.
 DESKRIPSI 
KETERANGAN
 Nama Kerajaan Ternate
 Ibukota Ternate
 Agama Islam
 Bahasa Melayu Ternate
 Sultan 1. Baab Mashur Malamo (1257-1277)
 2. Sultan Iskandar Muhammad Jabir Syah (1929-1975)
 3. Sultan Mudaffar Syah (Mudaffar Syah II) (1929-1975)

DAFTAR ISI
1. SEJARAH AWAL TERNATE
2. HUBUNGAN TERNATE DENGAN PORTUGIS
3. PENGUSIRAN PORTUGIS
4. KEDATANGAN BELANDA
5. MASA KEJAYAAN TERNATE
6. PENINGGALAN KERAJAAN TERNATE
7. PERLAWANAN RAKYAT MALUKU DAN KEJATUHAN TERNATE



SEJARAH AWAL TERNATE

Semula di Maluku terdapat 4 buah kerajaan. yaitu Ternate. Tidore. Bacan dan Jailolo. Antara ke 4 kerajaan itu selalu terjadi perselisian untuk memperebutkan daerah penghasil rempah-rempah (= cengkeh, paladan fuli). Akhirnya kerajaan Ternatelah yang memegang kedudukan penting. Bandar Ternate menjadi pusat perdagangan rempah- rempah di Maluku Utara. Agama Islam tersiar masuk abad 15. Sejak dulu pedagang-pedagang dari Indonesia Barat khususnya dan Jawa banyak yang datang berdagang di Maluku. 

Mereka membawa barang-barang kebutuhan rakyat, seperti: beras.gula merah, garam, dan textil. Sebaliknya pedagang-pedagang itu membeli rempah-rempah untuk diperdagangkan ke bandar- bandar di sekitar Selat Malaka. Sambil berdagang mereka juga menyebar atau mengsiarkan agama Islam di Maluku. Setelah disana banyak penganut agama Islam, banyak pemuda yang dikirimkan ke Jawa Timur untuk memperdalam menyempurnakan ilmu agamanya.

Adapun raja Ternate yang pertama-tama menganut agama Islam ialah Sultan Marhum (1465 – 1486). Sejak itu Ternate menjadi pusat Islam di Maluku. Pada akhir abad-16 agama Islam tersiar hingga Mindanao (Philipina Selatan), karena Mindanao menjadi daerah kekuasaan Ternate. Persaingan Ternate — Tidore. Telah berabad-abad lamanya antara Ternate dan Tidore terjadi persaingan—pertentangan. Baik Ternate maupun Tidore selalu berusaha untuk menguasai sendiri seluruh hasil rempah- rempah. Hal itu menyebabkan timbulnya 2 persekutuan yang memecah persatuan rakyat Maluku.

Pulau Gapi (kini Ternate) mulai ramai di awal abad ke-13. Penduduk Ternate awal merupakan warga eksodus dari Halmahera. Awalnya di Ternate terdapat 4 kampung yang masing-masing dikepalai oleh seorang momole (kepala marga). Merekalah yang pertama–tama mengadakan hubungan dengan para pedagang yang datang dari segala penjuru mencari rempah–rempah. Penduduk Ternate semakin heterogen dengan bermukimnya pedagang Arab, Jawa, Melayu dan Tionghoa. Oleh karena aktivitas perdagangan yang semakin ramai ditambah ancaman yang sering datang dari para perompak maka atas prakarsa Momole Guna pemimpin Tobona diadakan musyawarah untuk membentuk suatu organisasi yang lebih kuat dan mengangkat seorang pemimpin tunggal sebagai raja.

Tahun 1257 Momole Ciko pemimpin Sampalu terpilih dan diangkat sebagai kolano (raja) pertama dengan gelar Baab Mashur Malamo (1257-1272). Kerajaan Gapi berpusat di kampung Ternate, yang dalam perkembangan selanjutnya semakin besar dan ramai sehingga oleh penduduk disebut juga sebagai Gam Lamo atau kampung besar (belakangan orang menyebut Gam Lamo dengan Gamalama). Semakin besar dan populernya Kota Ternate, sehingga kemudian orang lebih suka mengatakan kerajaan Ternate daripada kerajaan Gapi. Di bawah pimpinan beberapa generasi penguasa berikutnya, Ternate berkembang dari sebuah kerajaan yang hanya berwilayahkan sebuah pulau kecil menjadi kerajaan yang berpengaruh dan terbesar di bagian timur Indonesia khususnya Maluku.

||TOP||


HUBUNGAN TERNATE DENGAN PORTUGIS

Orang Portugis pertama kali datang di Maluku pada tanun 1512. Mereka disambut dengan baik oleh Ternate maupun Tidore. Selanjutnya baik Ternate maupun Tidore, saling berusaha untuk menarik orang Portugis ke pihaknya. Keduanya menawarkan kepada Portugis untuk mendirikan pangkalan tetap di sana serta menjadi pembeli tunggal cengkeh ; Portugis akhirnya memilih bersekutu atau bersahabat dengan Ternate. Sebagai realisasi dan persekutuan itu, pada tahun 1521 Portugis mendirikan benteng Santo Paolo di Ternate. Dengan benteng Santo Paolo sebagai basis kekuatannya, setapak demi setapak Portugis hendak menguasai seluruh Maluku. Sultan Ternate, yaitu Hairun dengan putranya Baabullah dipaksa untuk mengakui kekuasaan raja Portugal (1564).

Dalam catatan sejarah raja-raja Ternate disebutkan sultan-sultan yang memegang peran penting dalam Islamisasi dan menghadapi Portugis adalah Sultan Zainal Abidin (sultan pertama dan perintis Islamisasi), Sultan Sirullah, Sultan Hairun, dan Sultan Baabullah. Pada tahun 1512 Portugis yang berada di Malaka mengirimkan utusan yang terdiri dari pedagang-pedangang Melayu ke Ternate untuk memberikan kabar bahwa kedatangan Portugis bukan untuk menaklukkan Ternate, tetapi untuk melakukan persahabatan dan akan berniaga secara damai. Ini merupakan salah satu usaha Portugis agar kedatangan mereka dapat diterima baik oleh Sultan Bayanullah.

Pada tahun 1513 Portugis kembali datang ke Maluku dan mendapat sambutan hangat dari Sultan, baik Sultan Ternate atau Tidore. Dari dua perlawatan ini akhirnya Portugis mengadakan ekspedisi tetap antara Malaka-Jawa-Maluku-Timor. Kedatangan Portugis menyebabkan harga rempah-rempah naik dengan pesat, karena itu sultan-sultan di Maluku berlomba menjual rempah-rempah kepada Portugis dan bersaing untuk menjalin hubungan dekat dengan Portugis. Dengan persaingan itu Portugis seakan mendapatkan durian runtuh, karena mendapat tawaran dari Ternate maupun Tidore untuk mendirikan benteng di daerahnya.

Akhirnya Portugis lebih memilih Ternate dan pada tahun 1521 mereka mendirikan bentengnya di Santo Paolo. Ternate bekerjasama dengan Portugis dengan maksud untuk mengikat pembeli dan mengalahkan Tidore. Kesultanan Tidore yang gagal menjalin kerjasama dengan Portugis, menerima kedatangan Spanyol. Adanya dua bangsa Eropa di Ternate dan Tidore menyebabkan konflik antara kedua kesultanan tidak dapat dihindarkan.

Permusuhan antara Portugis dan Tidore terjadi bukan semata-mata untuk mendukung Ternate. Tetapi secara khusus permusuhan dimulai ketika Antonio de Broto kapten Portugis mendengar kedatangan jungjung dari Banda yang hendak membeli cengkeh. Ia mengirim sebuah galai untuk melawan jung ini. Galai ini kemudian tenggelam di dekat Tidore. Orang Tidore kemudian memenggal kepala 16-17 orang Portugis. Peristiwa ini yang sebenarnya dimulainya perang melawan Tidore.

Pada tahun 1529 Dom Jorge de Menese dengan sekutu-sekutunya Ternate dan Bacan menyerbu Tidore dan mengalahkan Tidore dan Orang Spanyol. Kekalahan Spanyol ini mencetuskan sebuah perjanjian baru dengan Portugis. Perjanjian ini dinamakan pernjanjian Zaragoza yang ditandatangi 22 April 1529, perjanjian ini berisi bahwa belahan timur dibagi di antara kedua kerajaan tersebut dengan batas garis bujur yang melalui 297,5 marine leagues atau 17° sebelah timur kepulauan Maluku. Dengan munculnya perjanjian ini maka Spanyol mengangkatkan kakinya dari Maluku untuk kemudian menuju Filipina, dan Portugis menjadi penguasa tunggal Maluku.

||TOP||


PENGUSIRAN PORTUGIS

Perlakuan Portugal terhadap saudara–saudaranya membuat Sultan Khairun geram dan bertekad mengusir Portugal dari Maluku. Tindak–tanduk bangsa Barat yang satu ini juga menimbulkan kemarahan rakyat yang akhirnya berdiri di belakang Sultan Khairun. Sejak masa sultan Bayanullah, Ternate telah menjadi salah satu dari tiga kesultanan terkuat dan pusat Islam utama di Nusantara abad ke-16 selain Aceh dan Demak setelah kejatuhan Malaka pada tahun 1511. Ketiganya membentuk Aliansi Tiga untuk membendung sepak terjang Portugal di Nusantara.

Tak ingin menjadi Malaka kedua, sultan Khairun mengobarkan perang pengusiran Portugal. Kedudukan Portugal kala itu sudah sangat kuat, selain memiliki benteng dan kantong kekuatan di seluruh Maluku mereka juga memiliki sekutu–sekutu suku pribumi yang bisa dikerahkan untuk menghadang Ternate. Dengan adanya Aceh dan Demak yang terus mengancam kedudukan Portugal di Malaka, Portugal di Maluku kesulitan mendapat bala bantuan hingga terpaksa memohon damai kepada Sultan Khairun. Secara licik gubernur Portugal, Lopez de Mesquita mengundang Sultan Khairun ke meja perundingan dan akhirnya dengan kejam membunuh sultan yang datang tanpa pengawalnya.

Pembunuhan Sultan Khairun semakin mendorong rakyat Ternate untuk menyingkirkan Portugal, bahkan seluruh Maluku kini mendukung kepemimpinan dan perjuangan Sultan Baabullah (1570-1583), pos-pos Portugal di seluruh Maluku dan wilayah timur Indonesia digempur. Setelah peperangan selama 5 tahun, akhirnya Portugal meninggalkan Maluku untuk selamanya pada tahun 1575. Di bawah pimpinan Sultan Baabullah, Ternate mencapai puncak kejayaan, wilayah membentang dari Sulawesi Utara dan Tengah di bagian barat hingga Kepulauan Marshall di bagian timur, dari Filipina Selatan di bagian utara hingga kepulauan Nusa Tenggara di bagian selatan.

Sultan Baabullah dijuluki penguasa 72 pulau yang semuanya berpenghuni hingga menjadikan Kesultanan Ternate sebagai kerajaan Islam terbesar di Indonesia timur, di samping Aceh dan Demak yang menguasai wilayah barat dan tengah Nusantara kala itu. Periode keemasaan tiga kesultanan ini selama abad 14 dan 15 entah sengaja atau tidak dikesampingkan dalam sejarah bangsa ini padahal mereka adalah pilar pertama yang membendung kolonialisme Barat.

||TOP||


KEDATANGAN BELANDA

Sepeninggal Sultan Baabullah, Ternate mulai melemah, Kerajaan Spanyol yang telah bersatu dengan Portugal pada tahun 1580 mencoba menguasai kembali Maluku dengan menyerang Ternate. Dengan kekuatan baru Spanyol memperkuat kedudukannya di Filipina, Ternate pun menjalin aliansi dengan Mindanao untuk menghalau Spanyol namun gagal, bahkan Sultan Said Barakati berhasil ditawan Spanyol dan dibuang ke Manila.

Kekalahan demi kekalahan yang diderita memaksa Ternate meminta bantuan Belanda pada tahun 1603. Ternate akhirnya berhasil menahan Spanyol namun dengan imbalan yang amat mahal. Belanda akhirnya secara perlahan-lahan menguasai Ternate. Pada tanggal 26 Juni 1607 Sultan Ternate menandatangani kontrak monopoli VOC di Maluku sebagai imbalan bantuan Belanda melawan Spanyol. Pada tahun 1607 pula Belanda membangun benteng Oranje di Ternate yang merupakan benteng pertama mereka di nusantara.

Sejak awal hubungan yang tidak sehat dan tidak seimbang antara Belanda dan Ternate menimbulkan ketidakpuasan para penguasa dan bangsawan Ternate. Diantaranya adalah Pangeran Hidayat (15??-1624), raja muda Ambon yang juga merupakan mantan wali raja Ternate ini memimpin oposisi yang menentang kedudukan sultan dan Belanda. Ia mengabaikan perjanjian monopoli dagang Belanda dengan menjual rempah–rempah kepada pedagang Jawa dan Makassar.

||TOP||


MASA KEJAYAAN TERNATE

Di bawah pemerintah Sultan Baabullah, Ternate mengalami kebesarannya. Selain Baabullah berhasil mengenyahkan kekuasaan orang Portugis dan Maluku Utara, Baabullah berhasil pula meluaskan kekuasaannya hingga Mindanao di sebelah Utara dan Hitu (Ambon) di sebelah selatan. Kekuasaan Ternate meliputi 72 pulau besar dan kecil. Sedangkan usaha Ternate untuk menguasai Tidore mengalami kegagalan. Demikian pula usahanya untuk mengusir Portugis dari Ambon.

Ternate pada masa jayanya adalah kerajaan yang cukup diperhitungkan dalam percaturan politik dan ekonomi. Pengaruhnya bahkan sampai saat ini masih tetap ada. Salah satunya adalah dalam hal bahasa. Sebagai pusat ekonomi dan perdagangan, Ternate mempunyai hubungan komunikasi jauh ke luar. Bahasa-bahasa yang berkembang di Ternate memperlihatkan suatu kegiatan interaktif yang kompleks antara bahasa Ternate, bahasa-bahasa etnis Non-Austronesia maupun Austronesia. Bahasa Ternate mempunyai pengaruh cukup besar terhadap perkembangan bahasa Melayu sebagai bahasa sehari-hari. Belanda serta Portugis memang berhasil menguasai sistem politik, militer dan ekonomi tetapi gagal dalam masalah budaya.

||TOP||


PENINGGALAN KERAJAAN TERNATE

1.Istana Sultan Ternate
Istana kesultanan Ternate bergaya abad ke-19, berlantai dua menghadap ke arah laut, dikelilingi perbentengan, terletak satu kompleks dengan masjid Jami Ternate. Istana ini terletak di wilayah administratif Soasiu, Kelurahan Letter C, Kodya Ternante. Pemugaran telah dilaksanakan sebanyak dua kali antara 1978-1982 oleh DR Daoed Joesoef. Kompleks ini dijadikan sebuah Museum Kesultanan Ternate.
Istana Sultan Ternate
2.Masjid dan Makam
Masjid Jami Kesultanan Ternate yang didirikan Sultan Hamzah, raja Ternate ke-24 ini memiliki atap bersusun tujuh, dengan luas masjid 22.40 X 39.30 m dengan tinggi keseluruhan 21.74 m.
Masjid Ternate
Untuk memperkokoh bangunannya, masjid ini memiliki empat tiang utama dan 12 tiang penyokong. Masjid dikelilingi pagar tembok dengan pintu gapura beratap dua susun yang berfungsi sebagi menara azan. Masjid ini berada dalam kompleks kesultanan.

Makam Sultan Baabullah Ternate
3.Koleksi
Sebagai bukti eksistensi, raja Ternate memiliki beberapa koleksi kebanggaan. Di antara koleksi yang kini menjadi koleksi artefak Museum Kesultanan Ternate, antara lain, Alquran tulisan tangan raja, tempat berdoa, bendera atau panji-panji dengan ayat-ayat Alquran, singgasana, tongkat kebesaran pedang, tombak, senapan, topi militer, baju besi, tameng, dan perisai.

4.Benteng Kerajaan Ternate
Benteng kerajaan Ternate dibangun pada tahun 1540 oleh Francisco Serao, seorang panglima Portugis yang pernah mendarat di Ternate.
Benteng Kerajaan Ternate

||TOP||


PERLAWANAN RAKYAT MALUKU DAN KEJATUHAN TERNATE

Semakin lama cengkeraman dan pengaruh Belanda pada Ternate semakin kuat. Belanda dengan leluasa mengeluarkan peraturan yang merugikan rakyat lewat perintah sultan. Sikap Belanda yang kurang ajar dan sikap sultan yang cenderung manut menimbulkan kekecewaan semua kalangan. Sepanjang abad ke-17, setidaknya ada 4 pemberontakan yang dikobarkan bangsawan Ternate dan rakyat Maluku.

Tahun 1635, demi memudahkan pengawasan dan mengatrol harga rempah yang merosot Belanda memutuskan melakukan penebangan besar–besaran pohon cengkeh dan pala di seluruh Maluku atau yang lebih dikenal sebagai Hongi Tochten yang menyebabkan rakyat mengobarkan perlawanan. Pada tahun 1641, dipimpin oleh raja muda Ambon, Salahakan Luhu, puluhan ribu pasukan gabungan Ternate, Hitu dan Makassar menggempur berbagai kedudukan Belanda di Maluku Tengah. Salahakan Luhu kemudian berhasil ditangkap dan dieksekusi mati bersama seluruh keluarganya pada tanggal 16 Juni 1643. Perjuangan lalu dilanjutkan oleh saudara ipar Luhu, Kapita Hitu Kakiali dan Tolukabessi hingga 1646.

Tahun 1650, para bangsawan Ternate mengobarkan perlawanan di Ternate dan Ambon, pemberontakan ini dipicu sikap Sultan Mandarsyah (1648-1650,1655-1675) yang terlampau akrab dan dianggap cenderung menuruti kemauan Belanda. Para bangsawan berkomplot untuk menurunkan sultan. Tiga di antara pemberontak yang utama adalah trio pangeran Saidi, Majira dan Kalamata. Pangeran Saidi adalah seorang kapita laut atau panglima tertinggi pasukan Ternate, Pangeran Majira adalah raja muda Ambon sementara Pangeran Kalamata adalah adik sultan Mandarsyah. Saidi dan Majira memimpin pemberontakan di Maluku Tengah sementara Pangeran Kalamata bergabung dengan raja Kesultanan Gowa, Sultan Hasanuddin. Mereka bahkan sempat berhasil menurunkan Sultan Mandarsyah dari tahta dan mengangkat Sultan Manilha (1650–1655), namun berkat bantuan Belanda kedudukan Mandarsyah kembali dipulihkan. Setelah 5 tahun pemberontakan Saidi dkk berhasil dipadamkan. Pangeran Saidi disiksa secara kejam hingga mati sementara Pangeran Majira dan Kalamata menerima pengampunan sultan dan hidup dalam pengasingan.

Sultan Muhammad Nurul Islam atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Sibori (1675 – 1691) merasa gerah dengan tindak–tanduk Belanda yang semena-mena. Ia kemudian menjalin persekutuan dengan Datuk Abdulrahman penguasa Mindanao, namun upayanya untuk menggalang kekuatan kurang maksimal karena daerah–daerah strategis yang bisa diandalkan untuk basis perlawanan terlanjur jatuh ke tangan Belanda oleh berbagai perjanjian yang dibuat para pendahulunya. Ia kalah dan terpaksa menyingkir ke Jailolo. Tanggal 7 Juli 1683 Sultan Sibori terpaksa menandatangani perjanjian yang intinya menjadikan Ternate sebagai kerajaan dependen Belanda. Perjanjian ini mengakhiri masa Ternate sebagai negara berdaulat.

Meski telah kehilangan kekuasaan mereka, beberapa sultan Ternate berikutnya tetap berjuang mengeluarkan Ternate dari cengkeraman Belanda. Dengan kemampuan yang terbatas karena selalu diawasi mereka hanya mampu menyokong perjuangan rakyatnya secara diam–diam. Yang terakhir tahun 1914 Sultan Haji Muhammad Usman Syah (1896-1927) menggerakkan perlawanan rakyat di wilayah–wilayah kekuasaannya, bermula di wilayah Banggai dibawah pimpinan Hairuddin Tomagola namun gagal.

Di Jailolo rakyat Tudowongi, Tuwada dan Kao dibawah pimpinan Kapita Banau berhasil menimbulkan kerugian di pihak Belanda, banyak prajurit Belanda yang tewas termasuk Controleur Belanda Agerbeek dan markas mereka diobrak–abrik. Akan tetapi karena keunggulan militer serta persenjataan yang lebih lengkap dimiliki Belanda perlawanan tersebut berhasil dipatahkan, kapita Banau ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung.

Sultan Haji Muhammad Usman Syah terbukti terlibat dalam pemberontakan ini oleh karenanya berdasarkan keputusan pemerintah Hindia Belanda, tanggal 23 September 1915 no. 47, Sultan Haji Muhammad Usman Syah dicopot dari jabatan sultan dan seluruh hartanya disita, dia dibuang ke Bandung tahun 1915 dan meninggal disana tahun 1927.

Pasca penurunan Sultan Haji Muhammad Usman Syah jabatan sultan sempat lowong selama 14 tahun dan pemerintahan adat dijalankan oleh Jogugu serta dewan kesultanan. Sempat muncul keinginan pemerintah Hindia Belanda untuk menghapus Kesultanan Ternate namun niat itu urung dilaksanakan karena khawatir akan reaksi keras yang bisa memicu pemberontakan baru sementara Ternate berada jauh dari pusat pemerintahan Belanda di Batavia.

Dalam usianya yang kini memasuki usia ke-750 tahun, Kesultanan Ternate masih tetap bertahan meskipun hanya sebatas simbol budaya.
Pengawal Sultan Ternate Pada Tahun 1910-an
Ngara Lamo, Gerbang Istana Kesultanan Ternate Pada Tahun 1910-an

||TOP||

Previous Post
Next Post

0 komentar:

close