21.1.19

Mari Belajar Sejarah Kerajaan Tidore

Kesultanan Tidore adalah kerajaan Islam yang berpusat di wilayah Kota Tidore, Maluku Utara, Indonesia sekarang. Pada masa kejayaannya (sekitar abad ke-16 sampai abad ke-18), kerajaan ini menguasai sebagian besar Pulau Halmahera selatan, Pulau Buru, Pulau Seram, dan banyak pulau-pulau di pesisir Papua barat. Pada tahun 1521, Sultan Mansur dari Tidore menerima Spanyol sebagai sekutu untuk mengimbangi kekuatan Kesultanan Ternate saingannya yang bersekutu dengan Portugal. 

Setelah mundurnya Spanyol dari wilayah tersebut pada tahun 1663 karena protes dari pihak Portugal sebagai pelanggaran terhadap Perjanjian Tordesillas 1494, Tidore menjadi salah satu kerajaan paling merdeka di wilayah Maluku. Terutama di bawah kepemimpinan Sultan Saifuddin (memerintah 1657-1689), Tidore berhasil menolak pengusaan VOC terhadap wilayahnya dan tetap menjadi daerah merdeka hingga akhir abad ke-18.
 DESKRIPSI 
 KETERANGAN 
 Nama Kerajaan Ternate
 Ibukota  Ternate
 Bahasa Melayu Tidore
 Agama Islam
 Bentuk Pemerintahan  Monarki Kesultanan 
 Sultan Yang Memimpin  1.Kolano Syahjati (Muhammad Naqil) ; 1081
2.Sultan Zainal Abidin Syah ; 1947-1967
3.Sultan Husain Syah ; 2012-Sekarang 
 Didirakan 1081
 Bergabung Dengan Indonesia 1950 

DAFTAR ISI
1. SEJARAH AWAL KERAJAAN TIDORE
2. ASPEK KEHIDUPAN DI TIDORE
3. RAJA RAJA KERAJAN TERNATE DAN TIDORE
4. MASA KEEMASAN TIDORE
5. PENINGGALAN KERAJAAN TIDORE
6. RUNTUHNYA KERAJAAN TIDORE



SEJARAH AWAL KERAJAAN TIDORE

Pada abad ke-15, para pedagang dan ulama dari Malaka dan Jawa menyebarkan Islam ke sana. Dari sini muncul empat kerajaan Islam di Maluku yang disebut Maluku Kie Raha (Maluku Empat Raja) yaitu Kesultanan Ternate yang dipimpin Sultan Zainal Abidin (1486-1500), Kesultanan Tidore yang dipimpin oleh Sultan Mansur, Kesultanan Jailolo yang dipimpin oleh Sultan Sarajati, dan Kesultanan Bacan yang dipimpin oleh Sultan Kaicil Buko.

Pada masa kesultanan itu berkuasa, masyarakat muslim di Maluku sudah menyebar sampai ke Banda, Hitu, Haruku, Makyan, dan Halmahera. Kerajaan Ternate dan Tidore yang terletak di sebelah Pulau Halmahera (Maluku Utara) adalah dua kerajaan yang memiliki peran yang menonjol dalam menghadapi kekuatan-kekuatan asing yang mencoba menguasai Maluku. Dalam perkembangan selanjutnya, kedua kerajaan ini bersaing memperebutkan hegemoni politik di kawasan Maluku. Kerajaan Ternate dan Tidore merupakan daerah penghasil rempah-rempah, seperti pala dan cengkeh, sehingga daerah ini menjadi pusat perdagangan rempah-rempah.

Wilayah Maluku bagian timur dan pantai-pantai Irian (Papua), dikuasai oleh Kesultanan Tidore, sedangkan sebagian besar wilayah Maluku, Gorontalo, dan Banggai di Sulawesi, dan sampai ke Flores dan Mindanao, dikuasai oleh Kesultanan Ternate. Kerajaan Ternate mencapai puncak kejayaannya pada masa Sultan Baabullah, sedangkan Kerajaan Tidore mencapai puncak kejayaannya pada masa Sultan Nuku. Persaingan di antara kerajaan Ternate dan Tidore adalah dalam perdagangan. Dari persaingan ini menimbulkan dua persekutuan dagang, masing-masing menjadi pemimpin dalam persekutuan tersebut, yaitu:

1.Uli-Lima (persekutuan lima bersaudara) dipimpin oleh Ternate meliputi Bacan, Seram, Obi, dan Ambon. Pada masa Sultan Baabulah, Kerajaan Ternate mencapai aman keemasan dan disebutkan daerah kekuasaannya meluas ke Filipina.

2.Uli-Siwa (persekutuan sembilan bersaudara) dipimpin oleh Tidore meliputi Halmahera, Jailalo sampai ke Papua. Kerajaan Tidore mencapai aman keemasan di bawah pemerintahan Sultan Nuku. Kerajaan-kerajaan Islam lainnya yang berkembang adalah Kesultanan Palembang yang didirikan oleh Ki Gedeng Suro, Kerajaan Bima di daerah bagian timur Sumbawa, dengan rajanya La Ka’i, Siak Sri Indrapura yang didirikan oleh Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah, dan masih banyak lagi Kerajaan Islam kecil lainnya di Indonesia.

||TOP||


ASPEK KEHIDUPAN DI TIDORE

Kerajaan Tidore terletak di sebelah selatan Ternate. Menurut silsilah raja-raja Ternate dan Tidore, Raja Tidore pertama adalah Muhammad Naqil yang naik tahta pada tahun 1081. Baru pada akhir abad ke-14, agama Islam dijadikan agama resmi Kerajaan Tidore oleh Raja Tidore ke-11, Sultan Djamaluddin, yang bersedia masuk Islam berkat dakwah Syekh Mansur dari Arab.

Aspek Kehidupan Politik dan Kebudayaan
Kesultanan Tidore mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Nuku (1780-1805 M). Sultan Nuku dapat menyatukan Ternate dan Tidore untuk bersama-sama melawan Belanda yang dibantu Inggris. Belanda kalah serta terusir dari Tidore dan Ternate. Sementara itu, Inggris tidak mendapat apa-apa kecuali hubungan dagang biasa. 

Sultan Nuku memang cerdik, berani, ulet, dan waspada. Sejak saat itu, Tidore dan Ternate tidak diganggu, baik oleh Portugal, Spanyol, Belanda maupun Inggris sehingga kemakmuran rakyatnya terus meningkat. Wilayah kekuasaan Tidore cukup luas, meliputi Pulau Seram, sebagian Halmahera, Raja Ampat, dan sebagian Papua. Pengganti Sultan Nuku adalah adiknya, Sultan Zainal Abidin. Ia juga giat menentang Belanda yang berniat menjajah kembali Kepulauan Maluku.

Aspek Kehidupan Ekonomi dan Sosial
Sebagai kerajaan yang bercorak Islam, masyarakat Tidore dalam kehidupan sehari-harinya banyak menggunakan hukum Islam. Hal itu dapat dilihat pada saat Sultan Nuku dari Tidore dengan De Mesquita dari Portugal melakukan perdamaian dengan mengangkat sumpah di bawah kitab suci Al-Qur’an.

Kesultanan Tidore terkenal dengan rempah-rempahnya, seperti di daerah Maluku. Sebagai penghasil rempah-rempah, Tidore banyak didatangi oleh Bangsa-bangsa Eropa. Bangsa Eropa yang datang ke Maluku, antara lain bangsa Portugis, Spanyol, dan Belanda.

||TOP||


RAJA RAJA KERAJAAN TIDORE

Kerajaan Tidore terletak di sebelah selatan Ternate. Menurut silsilah raja- raja Ternate dan Tidore, Raja Ternate pertama adalah Syahadati alias Muhammad Naqal yang naik takhta pada tahun 1081. Baru saat Raja Ternate yang kesembilan, Cirililiyah bersedia memeluk agama Islam berkat dakwah Syekh Mansur dari Arab. Setelah masuk Islam bersama para pembesar kerajaan, Cirililiyah mendapat gelar Sultan Jamalluddin. Putra sulungnya Mansur juga masuk Islam. Agama Islam masuk pertama kali di Tidore pada tahun 1471 (menurut catatan Portugis).
  1. Kolano Syahjati alias Muhammad Naqil bin Jaffar Assidiq
  2. Kolano Bosamawange
  3. Kolano Syuhud alias Subu
  4. Kolano Balibunga
  5. Kolano Duko adoya
  6. Kolano Kie Matiti
  7. Kolano Seli
  8. Kolano Matagena
  9. 1334-1372: Kolano Nuruddin
  10. 1372-1405: Kolano Hasan Syah
  11. 1495-1512: Sultan Ciriliyati alias Djamaluddin
  12. 1512-1526: Sultan Al Mansur
  13. 1526-1535: Sultan Amiruddin Iskandar Zulkarnain
  14. 1535-1569: Sultan Kiyai Mansur
  15. 1569-1586: Sultan Iskandar Sani
  16. 1586-1600: Sultan Gapi Baguna
  17. 1600-1626: Sultan Mole Majimo alias Zainuddin
  18. 1626-1631: Sultan Ngora Malamo alias Alauddin Syah; memindahkan pemerintahan dan mendirikan Kadato (Istana) Biji Negara di Toloa
  19. 1631-1642: Sultan Gorontalo alias Saiduddin
  20. 1642-1653: Sultan Saidi
  21. 1653-1657: Sultan Mole Maginyau alias Malikiddin
  22. 1657-1674: Sultan Saifuddin alias Jou Kota; memindahkan pemerintahan dan mendirikan Kadato (Istana) Salero di Limau Timore (Soasiu)
  23. 1674-1705: Sultan Hamzah Fahruddin
  24. 1705-1708: Sultan Abdul Fadhlil Mansur
  25. 1708-1728: Sultan Hasanuddin Kaicil Garcia
  26. 1728-1757: Sultan Amir Bifodlil Aziz Muhidin Malikul Manan
  27. 1757-1779: Sultan Muhammad Mashud Jamaluddin
  28. 1780-1783: Sultan Patra Alam
  29. 1784-1797: Sultan Hairul Alam Kamaluddin Asgar
  30. 1797-1805: Sultan Syaidul Jehad Amiruddin Syaifuddin Syah Muhammad El Mab’us Kaicil Paparangan Jou Barakati Nuku
  31. 1805-1810: Sultan Zainal Abidin
  32. 1810-1821: Sultan Motahuddin Muhammad Tahir
  33. 1821-1856: Sultan Achmadul Mansur Sirajuddin Syah; pembangunan Kadato (Istana) Kie
  34. 1856-1892: Sultan Achmad Syaifuddin Alting
  35. 1892-1894: Sultan Achmad Fatahuddin Alting
  36. 1894-1906: Sultan Achmad Kawiyuddin Alting alias Shah Juan; setelah wafat, terjadi konflik internal (Kadato Kie dihancurkan) hingga vakumnya kekuasaan
  37. 1947-1967: Sultan Zainal Abidin Syah; diikuti vakumnya kekuasaan
  38. 1999-2012: Sultan Djafar Syah; pembangunan kembali Kadato Kie
  39. 2012-sekarang: Sultan Husain Syah

||TOP||


MASA KEEMASAN TIDORE

Masa kejayaan Kesultanan Tidore ketika pada masa pemerintahan Sultan Nuku (1780-1805 M). Sultan Nuku dapat menyatukan Ternate dan Tidore untuk bersama-sama melawan Belanda yang dibantu Inggris. Belanda kalah serta terusir dari Tidore dan Ternate. Sementara itu, Inggris tidak mendapat apa-apa kecuali hubungan dagang biasa.

Sultan Nuku memang cerdik, berani, ulet, dan waspada. Sejak saat itu, Tidore dan Ternate tidak diganggu, baik oleh Portugis, Spanyol, Belanda maupun Inggris sehingga kemakmuran rakyatnya terus meningkat. Wilayah kekuasaan Tidore cukup luas, meliputi Pulau Seram, Makean Halmahera, Pulau Raja Ampat, Kai, dan Papua. Pengganti Sultan Nuku adalah adiknya, Zainal Abidin. Ia juga giat menentang Belanda yang berniat menjajah kembali.

Kerajaan Tidore terkenal dengan rempah-rempahnya, seperti di daerah Maluku. Sebagai penghasil rempah-rempah, kerajaan Tidore banyak didatangi oleh Bangsa-bangsa Eropa. Bangsa Eropa yang datang ke Maluku, antara lain Portugis, Spanyol, dan Belanda.

||TOP||


PENINGGALAN KERAJAAN TIDORE

1.Istana Sultan Ternate
Istana Kesultanan Ternate terletak di dataran pantai di Kampung Soa-Sio, Kelurahan Letter C, Kodya Ternate, Provinsi Maluku Utara. Letak Istana Kesultanan Ternate tidak jauh dari pusat kota. Kesultanan Ternate memiliki peran penting di kawasan timur nusantara sejak abad XIII hingga abad XVII. Di masa keemasannya, yakni pada abad XVI, kekuasaan kesultanan membentang mulai dari seluruh wilayah di Maluku, Sulawesi Utara, kepulauan-kepulauan di Filipina selatan, hingga kepulauan Marshall di pasifik.

Pada tanggal 7 Desember 1976, Istana Kesultanan Ternate dimasukkan sebagai benda cagar budaya. Para ahli waris Kesultanan Ternate dipimpin oleh Sultan Muda Mudzafar Syah, menyerahkan istana kesultanan ini kepada Pemerintah Direktorat Jenderal Kebudayaan untuk dipugar, dipelihara dan dilestarikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Istana Sultan Ternate
Istana ini dipagari oleh dinding berketinggian lebih dari 3 meter, yang menyerupai benteng. Di lingkungan istana ini juga terdapat komplek pemukiman raja dan keluarganya, dan komplek makam para pendahulu kesultanan. Istana bergaya Eropa yang menghadap ke arah laut ini, berada dalam satu komplek dengan mesjid kesultanan yang didirikan oleh Sultan Hamzah, Sultan Ternate ke-9.

Desain interior istana penuh dengan hiasan emas. Di ruang kamar bagian dalam terdapat peninggalan pakaian dari sulaman benang emas yang mewah, perhiasan-perhiasan dari emas dan kalung raksasa dari emas murni, mahkota, kelad bahu, kelad lengan, giwang, anting-anting, cincin, dan gelang yang hampir kesemuanya terbuat dari emas. Hal ini merupakan indikator bahwa Kesultanan Ternate pernah mengalami masa kejayaan.

Di samping itu, istana megah ini juga menyimpan, merawat dan memamerkan benda-benda pusaka milik kesultanan, seperti senjata (senapan, meriam kecil, peluru-peluru bulat, tombak, parang dan perisai), pakaian besi, pakaian kerajaan, topi-topi perang, alat-alat rumah tangga, dan naskah-naskah kuno (Al-Quran, maklumat, dan surat-surat perjanjian).

Tidak jauh dari istana, terdapat warung-warung yang berjualan cinderamata dan makanan khas Maluku Utara seperti, papeda (sagu), ketam kenari, halua kenari, bagea, serta ikan hasil olahan, seperti ikan fufu ( ikan asap) dan gohu ikan.

2.Benteng Tolukko
Benteng Tolukko adalah benteng peninggalan Portugis yang berada di Kelurahan Sangadji, Kecamatan Ternate Utara, Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara, Indonesia. Benteng Tolukko dibangun oleh seorang panglima Portugis yang bernama Fransisco Serao, pada tahun 1540. Benteng ini dibangun Portugis sebagai pertahanannya dalam menguasai cengkih dan juga menguasai dominasinya di antara bangsa Eropa yang lain.
Benteng Tolukko
Benteng ini diambil alih oleh Belanda pada tahun 1610 dan direnovasi oleh Pieter Both. Pada tahun 1864, oleh Residen P. van der Crab, benteng Tolukko dikosongkan karena sebagian bangunannya telah rusak. Pemerintah Republik Indonesia memugar benteng ini pada tahun 1996-1997.

Dahulu benteng Tolukko dikenal dengan nama Benteng Hollandia. Benteng Tolukko dibangun di atas fondasi batuan beku. Benteng ini terbentuk dari tiga buah bastion, ruang bawah tanah, halaman dalam, lorong serta bangunan utama berbentuk egi empat. Konstruksi bangunannya terbuat dari campuran batu kali, batu karang, pecahan batu bata yang direkat oleh campuran kapur serta pasir.

3.Masjid di Ternate
Masjid Sultan Ternate adalah sebuah masjid yang terletak di kawasan Jalan Sultan Khairun, Kelurahan Soa Sio, Kecamatan Ternate Utara, Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara. Masjid ini menjadi bukti keberadaan Kesultanan Islam pertama di kawasan timur Nusantara ini. Kesultanan Ternate mulai menganut Islam sejak raja ke-18, yaitu Kolano Marhum yang bertahta sekitar 1465-1486.

Pengganti Kolano Marhum adalah puteranya, Zainal Abidin (1486-1500), yang makin memantapkan Ternate sebagai Kesultanan Islam dengan mengganti gelar Kolano menjadi Sultan, menetapkan Islam sebagai agama resmi kerajaan, memberlakukan syariat Islam, serta membentuk lembaga kerajaan sesuai hukum Islam dengan melibatkan para ulama.
Masjid Ternate
Masjid Sultan ini diperkirakan telah dirintis sejak masa Sultan Zainal Abidin, namun ada juga yang beranggapan bahwa pendirian Masjid Sultan baru dilakukan awal abad ke-17, yaitu sekitar tahun 1606 saat berkuasanya Sultan Saidi Barakati. Hingga sekarang, belum ditemukan angka valid sejak kapan sebetulnya Masjid Sultan Ternate didirikan. Akan tetapi, melihat kenyataan sejarah, sebelum Sultan Saidi Barakati naik tahta, Kesultanan Ternate telah mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik di bidang keagamaan, ekonomi, maupun angkatan perang.

Perjuangan Sultan Khairun (1534-1570) yang dilanjutkan oleh penerusnya, yaitu Sultan Baabullah (1570-1583) untuk mengusir pasukan Portugis, misalnya, menjadi salah satu fase kegemilangan Kesultanan Ternate Sekitar setengah abad sebelum berkuasanya Sultan Saidi Barakati. Sehingga, perkiraan bahwa Masjid Sultan Ternate baru dibangun pada awal abad ke-17 tidak memiliki alasan yang cukup kuat.

Sebagaimana Kesultanan Islam lainnya di Nusantara, Masjid Sultan Ternate dibangun di dekat Kedaton Sultan Ternate, tepatnya sekitar 100 meter sebelah tenggara kedaton. Posisi masjid ini tentu saja berkaitan dengan peran penting masjid dalam kehidupan beragama di Kesultanan Ternate. Tradisi atau ritual-ritual keagamaan yang diselenggarakan kesultanan selalu berpusat di masjid ini.

Masjid Sultan Ternate dibangun dengan komposisi bahan yang terbuat dari susunan batu dengan bahan perekat dari campuran kulit kayu pohon kalumpang. Sementara arsitekturnya mengambil bentuk segi empat dengan atap berbentuk tumpang limas, di mana tiap tumpang dipenuhi dengan terali-terali berukir. Arsitektur ini tampaknya merupakan gaya arsitektur khas masjid-masjid awal di Nusantara, seperti halnya masjid-masjid pertama di tanah Jawa di mana atapnya tidak berbentuk kubah, melainkan limasan.

||TOP||


RUNTUHNYA KERAJAAN TIDORE

Kemunduran Kerajaan Ternate disebabkan karena diadu domba dengan Kerajaan Tidore yang dilakukan oleh bangsa asing ( Portugis dan Spanyol ) yang bertujuan untuk memonopoli daerah penghasil rempah-rempah tersebut. Setelah Sultan Ternate dan Sultan Tidore sadar bahwa mereka telah diadu domba oleh Portugis dan Spanyol, mereka kemudian bersatu dan berhasil mengusir Portugis dan Spanyol ke luar Kepulauan Maluku. 

Namun kemenangan tersebut tidak bertahan lama sebab VOC yang dibentuk Belanda untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku berhasil menaklukkan Ternate dengan strategi dan tata kerja yang teratur, rapi dan terkontrol dalam bentuk organisasi yang kuat.

||TOP||


Previous Post
Next Post

0 komentar:

close