5.1.19

Sejarah Kerajaan Kediri Dan Karangan Karya Sastra Buatan Beberapa Empu

Sejarah Kerajaan Kediri, Kadiri atau juga dikenal dengan nama Panjalu merupakan kerajaan Jawa Timur di tahun 1042 sampai 1222 yang berpusat di Kota Daha yang sekarang merupakan Kota Kediri. Kota Daha sendiri sudah ada sebelum Kerajaan Kediri didirikan dan Daha merupakan singkatan dari Dahanapura yang memiliki arti kora api. Ini bisa dilihat dari sebuah prasasti Pamwatan dari Airlangga pada tahun 1042. Pada akhir tahun 1042. Airlangga secara terpaksa harus membagi wilayah kerajaan sebab perebutan tahta dari dua orang putranya yakni Sri Samarawijaya yang mendapat Kerajaan Barat Panjalu di Kota Baru Daha dan Mapanji Garasakan mendapat Kerajaan Timur yakni Janggala di Kota Lama, Kahuripan.
DESKRIPSI
KETERANGAN
 Nama Kerajaan Kediri
 Ibukota Daha, Dahanapura
 Bahasa Jawa Kuno
 Agama 1. Kejawen
 2. Hinduisme
 3. Buddhisme
 4. Animisme
 Pemerintahan Monarki
 Raja 1. Sri Samarawijaya (1042)
 2. Kertajaya (1194-1222)



DAFTAR ISI
1. SEJARAH AWAL
2. KEHIDUPAN DIKEDIRI
3. RAJA RAJA KERAJAAN KEDIRI
4. KEJAYAAN KERAJAAN KEDIRI
5. PENINGGALAN KEDIRI
6. KERUNTUHAN KERAJAAN KEDIRI



SEJARAH AWAL

Sebelum kerajaan menjadi dua, kerajaan yang dipimpin oleh Airlangga sudah memiliki nama Panjalu yang ada di Daha, sehingga Kerajaan Janggala terlahir dari pecahan Panjalu, sedangkan Kahuripan merupakan nama kota lama yang ditinggalkan Airlangga lalu menjadi ibu kota Janggala.

Awalnya, nama Panjalu lebih sering digunakan dibandingkan dengan Kediri atau Kadiri yang terbukti dari beberapa prasasti raja-raja Kediri. Nama Panjalu sendiri dikenal dengan Pu Chia Lung pada kronik Cina yakni Ling wai tai ta tahun 1178. Kediri atau Kadiri berasal dari kata Khadri yaitu bahasa Sansekerta dengan arti pohon mengkudu atau pohon pace.




KEHIDUPAN DIKEDIRI

Kehidupan Politik Kerajaan Kediri
Mapanji Garasakan memerintah tidak lama. Ia digantikan Raja Mapanji Alanjung (1052 – 1059 M). Mapanji Alanjung kemudian diganti lagi oleh Sri Maharaja Samarotsaha. Pertempuran yang terus menerus antara Jenggala dan Panjalu menyebabkan selama 60 tahun tidak ada berita yang jelas mengenai kedua kerajaan tersebut hingga munculnya nama Raja Bameswara (1116 – 1135 M) dari Kediri. Pada masa itu ibu kota Panjalu telah dipindahkan dari Daha ke Kediri sehingga kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri. Raja Bameswara menggunakan lencana kerajaan berupa tengkorak bertaring di atas bulan sabit yang biasa disebut Candrakapala. Setelah Bameswara turun takhta, ia digantikan Jayabaya yang dalam masa pemerintahannya itu berhasil mengalahkan Jenggala. Berturut-turut raja-raja Kediri sejak Jayabaya sebagai berikut.

Pada tahun 1019 M Airlangga dinobatkan menjadi raja Medang Kamulan. Airlangga berusaha memulihkan kembali kewibawaan Medang Kamulan, setelah kewibawaan kerajaan berahasil dipulihkan, Airlangga memindahkan pusat pemerintahan dari Medang Kamulan ke Kahuripan. Berkat jerih payahnya , Medang Kamulan mencapai kejayaan dan kemakmuran. Menjelang akhir hayatnya , Airlangga memutuskan untuk mundur dari pemerintahan dan menjadi pertapa dengan sebutan Resi Gentayu. Airlangga meninggal pada tahun 1049 M.

Pewaris tahta kerajaan Medang Kamulan seharusnya seorang putri yaitu Sri Sanggramawijaya yang lahir dari seorang permaisuri. Namun karena memilih menjadi pertapa, tahta beralih pada putra Airlangga yang lahir dari selir. Untuk menghindari perang saudara, Medang Kamulan dibagi menjadi dua yaitu kerajaan Jenggala dengan ibu kota Kahuripan, dan kerajaan Kediri (Panjalu) dengan ibu kota Dhaha. Tetapi upaya tersebut mengalami kegagalan. Hal ini dapat terlihat hingga abad ke 12 , dimana Kediri tetap menjadi kerajaan yang subur dan makmur namun tetap tidak damai sepenuhnya dikarenakan dibayang- bayangi Jenggala yang berada dalam posisi yang lebih lemah. Hal itu menjadikan suasana gelap, penuh kemunafikan dan pembunuhan berlangsung terhadap pangeran dan raja – raja antar kedua negara. Namun perseteruan ini berakhir dengan kekalahan jenggala, kerajaan kembali dipersatukandi bawah kekuasaan Kediri.

Kehidupan Ekonomi Kerajaan Kediri
Kediri merupakan kerajaan agraris dan maritim. Masyarakat yang hidup di daerah pedalaman bermata pencaharian sebagai petani. Hasil pertanian di daerah pedalaman Kerajaan Kediri sangat melimpah karena didukung oleh kondisi tanah yang subur. Hasil pertanian yang melimpah memberikan kemakmuran bagi rakyat. Masyarakat yang berada di daerah pesisir hidup dari perdagangan dan pelayaran. Pada masa itu perdagangan dan pelayaran berkembang pesat. Para pedagang Kediri sudah melakukan hubungan dagang dengan Maluku dan Sriwijaya.Pada masa itu, mata uang yang terbuat dari emas dan campuran antara perak, timah, dan tembaga sudah digunakan. Hubungan antara daerah pedalaman dan daerah pesisir sudah berjalan cukup lancar. Sungai Brantas banyak digunakan untuk lalu lintas perdagangan antara daerah pedalaman dan daerah pesisir.

Kondisi masyarakat Kediri sudah teratur. Penduduknya sudah memakai kain sampai di bawah lutut, rambut diurai, serta rumahnya bersih dan rapi. Dalam perkawinan, keluarga pengantin wanita menerima maskawin berupa emas. Orang-orang yang sakit memohon kesembuhan kepada dewa dan Buddha.Perhatian raja terhadap rakyatnya sangat tinggi. Hal itu dibuktikan pada kitab Lubdaka yang berisi tentang kehidupan sosial masyarakat pada saat itu. Tinggi rendahnya martabat seseorang bukan berdasarkan pangkat dan harta bendanya, tetapi berdasarkan moral dan tingkah lakunya. Raja juga sangat menghargai dan menghormati hak-hak rakyatnya. Akibatnya, rakyat dapat leluasa menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari.

Kehidupan Sosial Dan Budaya
Kondisi masyarakat Kediri sudah teratur. Penduduknya sudah memakai kain sampai di bawah lutut, rambut diurai, serta rumahnya bersih dan rapi. Dalam perkawinan, keluarga pengantin wanita menerima maskawin berupa emas. Orang-orang yang sakit memohon kesembuhan kepada dewa dan Buddha. Perhatian raja terhadap rakyatnya sangat tinggi. Hal itu dibuktikan pada kitab Lubdaka yang berisi tentang kehidupan sosial masyarakat pada saat itu. Tinggi rendahnya martabat seseorang bukan berdasarkan pangkat dan harta bendanya, tetapi berdasarkan moral dan tingkah lakunya. Raja juga sangat menghargai dan menghormati hak-hak rakyatnya. Akibatnya, rakyat dapat leluasa menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari.

Pada zaman Kediri karya sastra berkembang pesat. Banyak karya sastra yang dihasilkan. Pada masa pemerintahan Jayabaya, raja pernah memerintahkan kepada Empu Sedah untuk mengubah kitab Bharatayuda ke dalam bahasa Jawa Kuno. Karena tidak selesai, pekerjaan itu dilanjutkan oleh Empu Panuluh. Dalam kitab itu, nama Jayabaya disebut beberapa kali sebagai sanjungan kepada rajanya. Kitab itu berangka tahun dalam bentuk candrasangkala, sangakuda suddha candrama (1079 Saka atau 1157 M). Selain itu, Empu Panuluh juga menulis kitab Gatutkacasraya dan Hariwangsa.

Pada masa pemerintahan Kameswara juga ditulis karya sastra, antara lain sebagai berikut:
  1. Kitab Wertasancaya, yang berisi petunjuk tentang cara membuat syair yang baik. Kitab itu ditulis oleh Empu Tan Akung.
  2. Kitab Smaradhahana, berupa kakawin yang digubah oleh Empu Dharmaja. Kitab itu berisi pujian kepada raja sebagai seorang titisan Dewa Kama. Kitab itu juga menyebutkan bahwa nama ibu kota kerajaannya adalah Dahana.
  3. Kitab Lubdaka, ditulis oleh Empu Tan Akung. Kitab itu berisi kisah Lubdaka sebagai seorang pemburu yang mestinya masuk neraka. Karena pemujaannya yang istimewa, ia ditolong dewa dan rohnya diangkat ke surga.

Selain karya sastra tersebut, masih ada karya sastra lain yang ditulis pada zaman Kediri, antara lain sebagai berikut:
  1. Kitab Kresnayana karangan Empu Triguna yang berisi riwayat Kresna sebagai anak nakal, tetapi dikasihi setiap orang karena suka menolong dan sakti. Kresna akhirnya menikah dengan Dewi Rukmini.
  2. Kitab Samanasantaka karangan Empu Managuna yang mengisahkan Bidadari Harini yang terkena kutuk Begawan Trenawindu.
Adakalanya cerita itu dijumpai dalam bentuk relief pada suatu candi. Misalnya, cerita Kresnayana dijumpai pada relief Candi Jago bersama relief Parthayajna dan Kunjarakarna.
Arca Wisnu, Abad Ke-12&Ke-13.


RAJA RAJA KERAJAAN KEDIRI

Kerajaan Kediri yang termasyhur pernah diperintah 8 raja dari awal berdirinya sampai masa keruntuhan kerajaan ini. Dari kedelapan raja yang pernah memerintah kerajaan ini yang sanggup membawa Kerajaan Kediri kepada masa keemasan adalah Prabu Jayabaya, yang sangat terkenal hingga saat ini.

Adapun 8 raja Kediri tersebut urutannya sebagai berikut :
1. Sri Jayawarsa
Sejarah tentang raja Sri Jayawarsa ini hanya dapat diketahui dari prasasti Sirah Keting (1104 M). Pada masa pemerintahannya Jayawarsa memberikan hadiah kepada rakyat desa sebagai tanda penghargaan, karena rakyat telah berjasa kepada raja. Dari prasasti itu diketahui bahwa Raja Jayawarsa sangat besar perhatiannya terhadap masyarakat dan berupaya meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.

2. Sri Bameswara
Raja Bameswara banyak meninggalkan prasasti seperti yang ditemukan di daerah Tulung Agung dan Kertosono. Prasasti seperti yang ditemukan itu lebih banyak memuat masalah-masalah keagamaan, sehingga sangat baik diketahui keadaan pemerintahannya.

3. Prabu Jayabaya
Kerajaan Kediri mengalami masa keemasan ketika diperintah oleh Prabu Jayabaya. Strategi kepemimpinan Prabu Jayabaya dalam memakmurkan rakyatnya memang sangat mengagumkan. Kerajaan yang beribu kota di Dahono Puro, bawah kaki Gunung Kelud, ini tanahnya amat subur, sehingga segala macam tanaman tumbuh menghijau. Hasil pertanian dan perkebunan berlimpah ruah. Di tengah kota membelah aliran sungai Brantas. 

Airnya bening dan banyak hidup aneka ragam ikan, sehingga makanan berprotein dan bergizi selalu tercukupi. Hasil bumi itu kemudian diangkut ke kota Jenggala, dekat Surabaya, dengan naik perahu menelusuri sungai. Roda perekonomian berjalan lancar, sehingga Kerajaan Kediri benar-benar dapat disebut sebagai negara yang “Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Karta Raharja”. 

Prabu Jayabaya memerintah antara tahun 1130 sampai 1157 Masehi. Dukungan spiritual dan material dari Prabu Jayabaya dalam hal hukum dan pemerintahan tidak tanggung-tanggung. Sikap merakyat dan visinya yang jauh ke depan menjadikan Prabu Jayabaya layak dikenang sepanjang masa. Jika rakyat kecil hingga saat ini ingat kepada beliau, hal itu menunjukkan bahwa pada masanya berkuasa tindakan beliau yang selalu bijaksana dan adil terhadap rakyat.

4. Sri Sarwaswera
Sejarah tentang raja ini didasarkan pada prasasti Padelegan II (1159) dan prasasti Kahyunan (1161). Sebagai raja yang taat beragama dan berbudaya, Sri Sarwaswera memegang teguh prinsip “tat wam asi”, yang berarti “dikaulah itu, dikaulah (semua) itu, semua makhluk adalah engkau”. Menurut Prabu Sri Sarwaswera, tujuan hidup manusia yang terakhir adalah moksa, yaitu pemanunggalan jiwatma dengan paramatma. Jalan yang benar adalah sesuatu yang menuju arah kesatuan, sehingga segala sesuatu yang menghalangi kesatuan adalah tidak benar.

5. Sri Aryeswara
Berdasarkan prasasti Angin (1171), Sri Aryeswara adalah raja Kediri yang memerintah sekitar tahun 1171. Nama gelar abhisekanya ialah Sri Maharaja Rake Hino Sri Aryeswara Madhusudanawatara Arijamuka. Tidak diketahui dengan pasti kapan Sri Aryeswara naik tahta. peninggalan sejarahnya berupa prasasti Angin, 23 Maret 1171. Lambang Kerajaan Kediri pada saat itu Ganesha. Tidak diketahui pula kapan pemerintahannya berakhir. Raja Kediri selanjutnya berdasarkan prasasti Jaring adalah Sri Gandra.

6. Sri Gandra
Masa pemerintahan Raja Sri Gandra (1181 M) dapat diketahui dari prasasti Jaring, yaitu tentang penggunaan nama hewan dalam kepangkatan seperti seperti nama gajah, kebo, dan tikus. Nama-nama tersebut menunjukkan tinggi rendahnya pangkat seseorang dalam istana.

7. Sri Kameswara
Masa pemerintahan Raja Sri Gandra dapat diketahui dari Prasasti Ceker (1182) dan Kakawin Smaradhana. Pada masa pemerintahannya dari tahun 1182 sampai 1185 Masehi, seni sastra mengalami perkembangan sangat pesat, diantaranya Empu Dharmaja mengarang kitab Smaradhana. Bahkan pada masa pemerintahannya juga dikeal cerita-cerita panji seperti cerita Panji Semirang.

8. Sri Kertajaya
Berdasarkan prasasti Galunggung (1194), prasasti Kamulan (1194), prasasti Palah (1197), prasasti Wates Kulon (1205), Nagarakretagama, dan Pararaton, pemerintahan Sri Kertajaya berlangsung pada tahun 1190 hingga 1222 Masehi. Raja Kertajaya juga dikenal dengan sebutan “Dandang Gendis”. Selama masa pemerintahannya, kestabilan kerajaan menurun. Hal ini disebabkan Kertajaya ingin mengurangi hak-hak kaum Brahmana. Keadaan ini ditentang oleh kaum Brahmana. 

Kedudukan kaum Brahmana di Kerajaan Kediri waktu itu semakin tidak aman. Kaum Brahmana banyak yang lari dan minta bantuan ke Tumapel yang saat itu diperintah oleh Ken Arok. Mengetahui hal ini Raja Kertajaya kemudian mempersiapkan pasukan untuk menyerang Tumapel. Sementara itu Ken Arok dengan dukungan kaum Brahmana melakukan serangan ke Kerajaan Kediri. Kedua pasukan itu bertemu di dekat Ganter (1222 M).



KEJAYAAN KERAJAAN KEDIRI

Kerajaan Kediri mencapai puncak kejayaan saat pemerintahan Raja Jayabaya. Daerah kekuasaannya semakin meluas. Dimulai dari Jawa Tengah meluas hingga hampir seluruh pulau Jawa. Pengaruh Kerajaan Kediri tidak hanya dirasakan di daerah Jawa saja, melainkan menyebar hingga ke pulau Sumatera yang merupakan kekuasaan kerajaan Sriwijaya. 

Dalam catatan Chu-fan-chi menyebut Jawa adalah maharaja yang memiliki beberapa wilayah jajahan yakni :
  • Pai-hua-yuan (Pacitan)
  • Ma-tung (Medang)
  • Ta-pen (Tumapel, Malang)
  • Hi-ning (Dieng)
  • Jung-ya-lu (Hujung Galuh, sekarang Surabaya)
  • Tung-ki (Jenggi, Papua Barat)
  • Ta-kang (Sumba)
  • Huang-ma-chu (Papua)
  • Ma-li (Bali)
  • Kulun (Gurun, mungkin Gorong atau Sorong di Papua Barat atau Nusa Tenggara)
  • Tan-jung-wu-lo (Tanjungpura di Borneo)
  • Ti-wu (Timor)
  • Pingya-i (Banggai di Sulawesi), dan 
  • Wu-nu-ku (Maluku). 
Sebegitu besarnya Kediri pada saat itu yang membuatnya menjadi sebuah kerajaan yang disegani. Tidak hanya kaya raya dan masyur, namun juga seni sastranya maju pesat, yang menjadikan Kediri semakin tersohor.



PENINGGALAN KERAJAAN KEDIRI

Prasasti pada masa Kerajaan Kediri, antara lain yaitu sebagai berikut :
  1. Prasasti Turun Hyang Prasasti Malenga (974 Saka/1052 M)
  2. Prasasti Banjaran (974 Saka/1052)
  3. Prasasti Padlegan (1038 Saka/1116)
  4. Prasasti Hantang (1057 Saka/1135 M)
  5. Prasasti Jaring (1103Saka/1181 M)
  6. Prasasti Lawudan (1127 Saka/ 1205).

Peninggalan Kitab Kerajaan Kediri
Pada zaman Kediri karya sastra berkembang pesat sehingga banyak karya sastra yang dihasilkan. Karya sastra tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Kitab Wertasancaya karangan Empu Tan Akung yang berisi petunjuk tentang cara membuat syair yang baik.
  2. Kitab Smaradhahana yang digubah oleh Empu Dharmaja dan berisi pujian kepada raja sebagai titisan Dewa Kama. Kitab ini juga menyebutkan bahwa nama ibu kota kerajaannya adalah Dahana.
  3. Kitab Lubdaka karangan Empu Tan Akung yang berisi kisah Lubdaka sebagai seorang pemburu yang mestinya masuk neraka. Karena pemujaannya yang istimewa, ia ditolong dewa dan rohnya diangkat ke surga.
  4. Kitab Kresnayana karangan Empu Triguna yang berisi riwayat Kresna sebagai anak nakal, tetapi dikasihi setiap orang karean suka menolong dan sakti.
  5. Kitab Samanasantaka karangan Empu Monaguna yang mengisahkan Bidadari Harini yang terkenal untuk Begawan Trenawindu.
  6. Kitab Baharatayuda yang diubah oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh.
  7. Kitab Gatotkacasraya dan Kitab Hariwangsa yang diubah oleh Empu Panuluh.




KERUNTUHAN KERAJAAN KEDIRI

Runtuhnya kerajaan Kediri dikarenakan pada masa pemerintahan Kertajaya , terjadi pertentangan dengan kaum Brahmana. Mereka menggangap Kertajaya telah melanggar agama dan memaksa meyembahnya sebagai dewa. Kemudian kaum Brahmana meminta perlindungan Ken Arok , akuwu Tumapel. Perseteruan memuncak menjadi pertempuran di desa Ganter, pada tahun 1222 M. Dalam pertempuarn itu Ken Arok dapat mengalahkan Kertajaya, pada masa itu menandai berakhirnya kerajaan Kediri. 

Setelah berhasil mengalah kan Kertanegara, Kerajaan Kediri bangkit kembali di bawah pemerintahan Jayakatwang. Salah seorang pemimpin pasukan Singasari, Raden Wijaya, berhasil meloloskan diri ke Madura. Karena perilakunya yang baik, Jayakatwang memperbolehkan Raden Wijaya untuk membuka Hutan Tarik sebagai daerah tempat tinggalnya. Pada tahun 1293, datang tentara Mongol yang dikirim oleh Kaisar Kubilai Khan untuk membalas dendam terhadap Kertanegara. 

Keadaan ini dimanfaatkan Raden Wijaya untuk menyerang Jayakatwang. Ia bekerjasama dengan tentara Mongol dan pasukan Madura di bawah pimpinan Arya Wiraraja untuk menggempur Kediri. Dalam perang tersebut pasukan Jayakatwang mudah dikalahkan. Setelah itu tidak ada lagi berita tentang Kerajaan Kediri.




Previous Post
Next Post

0 komentar:

close