3.1.19

Mari Belajar Sejarah Kerajaan Makassar dan Asal Usul Penamaan Masjid Al-Hilal (Katangka)

Kerajaan Makassar berdiri pada abad ke-16 Masehi yang awalnya terdiri atas dua kerajaan yaitu kerajaan Gowa dan Tallo, Kemudian keduanya bersatu dibawah pimpinan raja Gowa yaitu Daeng Manrabba. Setelah menganut agama Islam Ia bergelar Sultan Alauddin. Sedangkan Raja Tallo sendiri yaitu Karaeng Mattoaya yang bergelar Sultan Abdullah, Bersatunya kedua kerajaan ini bersamaan dengan tersebarnya agama Islam di Sulawesi Selatan. Awalnya Upaya penyebaran agama Islam dari Jawa ke Makassar tidak banyak membawa hasil.
Balai Kota Makassar Temp Dulu
Demikian pula usaha Sultan Baabullah dari Ternate yang mendorong penguasa Gowa-Tallo agar memeluk agama Islam. Islam baru dapat berpijak kuat di Makassar berkat upaya Datok Ribandang dari Minangkabau.Pada tahun 1650, Penguasa Gowa dan Tallo memeluk agama Islam. Dalam perjalanannya kerajaan masing-masing, dua kerajaan bersaudara ini dilanda peperangan bertahun-tahun. Hingga kemudian pada masa Gowa dipimpin Raja Gowa X, Kerajaan Tallo mengalami kekalahan. Kedua kerajaan kembar itu pun menjadi satu kerajaan dengan kesepakatan “Rua Karaeng se’re ata” (dua raja, seorang hamba).
Deskripsi  
Keterangan
 Nama Kerajaan Makassar
 Ibukota Makassar
 Bahasa Mangkasara
 Agama Islam, Kristen, Katolik,
 Buddha, Hindu, Konghucu
 Bentuk Pemerintahan Kerajaan
 Raja 1.Sultan Alauddin
 2.Sultan Muhammad Said
 3. Sultan Hasanuddin
Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo ini akhirnya meleburkan Pusat pemerintahan dari Kerajaan Makassar terletak di Sombaopu.Letak kerajaan Makassar sangat strategis karena berada di jalur lalu lintas pelayaran antara Malak dan Maluku. Letaknya yang sangat strategis itu menarik minat para pedagang untuk singgah di pelabuhan Sombaopu. Dalam waktu singkat, Makassar berkembang menjadi salah satu Bandar penting di wilayah timur Indonesia.

DAFTAR ISI
1. SEJARAH AWAL KERAJAAN MAKASSAR
2. KEHIDUPAN DI MAKASSAR
3. RAJA RAJA KERAJAAN MAKASSAR
4. KEJAYAAN KERAJAAN MAKASSAR
5. PENINGGALAN KERAJAAN MAKASSAR
6. RUNTUHNYA KERAJAAN MAKASSAR


SEJARAH AWAL KERAJAAN MAKASSAR

Munculnya kerajaan Makassar tidak dapat dilepaskan dari keberadaan kerajaan Gowa dan Tallo. Jika ditinjau dari sisi historisnya, kerajaan Makassar terbentuk dari gabungan dua kerajaan tersebut yaitu Gowa dan Tallo. Terbentuknya kerajaan Gowa sendiri diawali dengan adanya sembilan komunitas kesukuan (Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero, dan Kalli). Sembilan komunitas itu dikemudian hari lebih dikenal dengan nama Bate Salapang (sembilan bendera). Pada perkembangannya Bate Salapang menjadi pusat kerajaan Gowa. Kesembilan komunitas itu melalui berbagai cara, baik secara damai atau paksaan akhirnya bergabung menjadi satu untuk memilih seorang pemimpin yang mempunyai tugas mengatur hubungan antar komunitas.

Untuk menjalankan tugas itu maka Tumanurung bersama suaminya Karaeng Bayo ditunjuk untuk memimpin Gowa. Bahkan menurut tradisi Gowa, Tumanurung dianggap sebagai pendiri istana Gowa. Dalam tahun-tahun berikutnya muncul kedekatan hubungan antar Gowa dan Tallo. Tallo sendiri merupakan kerajaan yang letaknya berbatasan dengan Gowa dan selalu ingin bersatu dengan Gowa, sehingga sering disebut sebagai kerajaan kembar. Adanya kedekatan hubungan ini menyebabkan Karaeng Gowa ke-9 yakni Tumapa’risi’ Kallonna yang memerintah pada awal abad ke-16, berinisiatif untuk menggabungkan kedua kerajaan menjadi satu nama kerajaan, yaitu kerajaan Makassar.

Pemberian nama Makassar diambil berdasarkan letak pusat kerajaan yang berada di Makassar, Sulawesi Selatan. Walaupun ada pendapat yang menyatakan bahwa pusat kerajaan Makassar terletak di Sombaupu. Bersatunya kerajaan Gowa dan Tallo bersamaan pula dengan proses Islamisasi di Sulawesi Selatan. Islam mulai memasuki daerah Sulawesi Selatan setelah kerajaan Makassar kedatangan ulama dari Sumatra yang bernama Datu’ Ri Bandang, dan Datu’ Sulaeman. Setelah kedatangan para ulama itu kerajaan Makassar memperoleh sebutan kesultanan Makassar di tahun 1605. Pemimpin Makassar pada masa itu adalah I Manga’rangi Daeng Manrabbi yang dibantu oleh I Malling Kaang yang lebih dikenal dengan nama Karaeng Matoaya dari Tallo.

Setelah menjadi muslim, gelar yang di sandang oleh Daeng Manrabbi adalah Sultan Alauddin (1591-1638), sementara gelar untuk Karaeng Matoaya adalah Sultan Abdullah yang dipercaya sebagai patih kerajaan Makassar. Terdapat catatan menarik dalam proses masuknya Islam di Sulawesi Selatan, bahwa sebelum raja memeluk Islam, sudah ada orang Islam sebagai pedagang di Gowa jauh sebelum itu. Ketika utusan Portugis datang ke Gowa pada tahun 1540, mereka telah mendapati beberapa orang slam berdiam di Gowa, tetapi mereka datang dari daerah lain. Laporan dari orang Portugis ini mungkin saja benar, mengingat setelah Malaka direbut Portugis pada tahun 1511, banyak pedagang lain melarikan nasibnya ke daerah lain, di antaranya ke Makassar.

KEHIDUPAN MAKASSAR

Kehidupan Ekonomi Kerajaan Makassar
Makassar tumbuh menjadi pelabuhan yang ramai karena letaknya di tengah-tengah antara Maluku, Jawa, Kalimantan, Sumatra, dan Malaka. Pertumbuhan Makassar makin cepat setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis (1511), sedangkan Maluku dikuasai oleh Portugis dan Belanda. Banyak pedagang dari Malaka, Aceh, dan Maluku yang pindah ke Makassar. Para pedagang Makassar membawa beras dan gula dari Jawa dan daerah Makassar sendiri ke Maluku yang ditukarkan dengan rempah-rempah. Rempah-rempah itu lalu dijual ke Malaka dan pulangnya membawa dagangan, seperti kain dari India, sutra dan tembikar dari Cina, serta berlian dari Banjar. Untuk menunjang Makasar sebagai pelabuhan transito dan untuk mencukupi kebutuhannya, maka kerajaan ini menguasai daerah-daerah sekitarnya.

Di sebelah timur ditaklukanlah Kerajaan Bone; sedangan untuk memperlancar dan memperluas jalan perdagangan, Makasar mengusai daerah-daerah selatan, seperti pulau Selayar, Buton demikian juga Lombok dan Sumbawa di Nusa Tenggara Barat. Dengan demikian jalan perdagangan waktu musim Barat yang melalui sebelah Utara kepulauan Nusa Tenggara dan jalan perdagangan waktu musim Timur yang melalui sebelah selatan dapat dikuasainya. Makasar berkembang sebagai pelabuhan Internasional, sehingga banyak pedagang Asing seperti Portugis, Inggris, dan Denmark berdagang di Makasar.

Dengan jenis perahu-perahunya seperti Pinisi dan Lambo, pedagang-pedagang Makasar memegang peranan penting dalam perdagangan di Indonesia. Hal ini menyebabkan mereka berhadapan dengan Belanda yang menimbulkan beberapa kali peperangan. Pihak Belanda yang merasa berkuasa atas Maluku sebagai sumber rempah-rempah, menganggap Makasar sebagai pelabuhan gelap; sebab di Makasar diperjualbelikan rempah-rempah yang berasal dari Maluku. Untuk mengatur pelayaran dan perniagaan dalam wilayahnya disusunlah hukum niaga dan perniagaan yang disebut Ade Allopioping Bicarance Pabbalu’e dan sebuah naskah lontar karya Amanna Gappa.

Kehidupan Sosial Dan Budaya Kerajaan Makassar
Mengingat Makasar sebagai kerajaan maritim dengan sumber kehidupan masyarakat pada aktivitas pelayaran perdagangan maka sebagian besar kebudayaannya dipengaruhi oleh keadaan tersebut. Hasil kebudayaan yang terkenal dari Makasar adalah perahu Pinisi dan Lambo. Selain itu juga berkembang kebudayaan lain seperti seni bangun, seni sastra, seni suara dan sebagainya.

Kehidupan Politik Kerajaan Makassar
Penyebaran Islam di Sulawesi Selatan dilakukan oleh Datuk Robandang/Dato’ Ri Bandang dari Sumatera, sehingga pada abad 17 agama Islam berkembang pesat di Sulawesi Selatan, bahkan raja Makasar pun memeluk agama Islam. Raja Makasar yang pertama memeluk agama Islam adalah Sultan Alaudin. Sejak pemerintahan Sultan Alaudin kerajaan Makasar berkembang sebagai kerajaan maritim dan berkembang pesat pada masa pemerintahan raja Muhammad Said (1639 – 1653). Selanjutnya kerajaan Makasar mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan Sultan Hasannudin (1653 – 1669). Pada masa pemerintahannya Makasar berhasil memperluas wilayah kekuasaannya yaitu dengan menguasai daerah-daerah yang subur serta daerah-daerah yang dapat menunjang keperluan perdagangan Makasar. Ia berhasil menguasai Ruwu, Wajo, Soppeng, dan Bone.Perluasan daerah Makasar tersebut sampai ke Nusa Tenggara Barat. Daerah kekuasaan Makasar luas, seluruh jalur perdagangan di Indonesia Timur dapat dikuasainya.

Sultan Hasannudin terkenal sebagai raja yang sangat anti kepada dominasi asing. Oleh karena itu ia menentang kehadiran dan monopoli yang dipaksakan oleh VOC yang telah berkuasa di Ambon. Untuk itu hubungan antara Batavia (pusat kekuasaan VOC di Hindia Timur) dan Ambon terhalangi oleh adanya kerajaan Makasar. Dengan kondisi tersebut maka timbul pertentangan antara Sultan Hasannudin dengan VOC, bahkan menyebabkan terjadinya peperangan. Peperangan tersebut terjadi di daerah Maluku. Dalam peperangan melawan VOC, Sultan Hasannudin memimpin sendiri pasukannya untuk memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku.

Akibatnya kedudukan Belanda semakin terdesak. Atas keberanian Sultan Hasannudin tersebut maka Belanda memberikan julukan padanya sebagai Ayam Jantan dari Timur. Upaya Belanda untuk mengakhiri peperangan dengan Makasar yaitu dengan melakukan politik adu-domba antara Makasar dengan kerajaan Bone (daerah kekuasaan Makasar). Raja Bone yaitu Aru Palaka yang merasa dijajah oleh Makasar mengadakan persetujuan kepada VOC untuk melepaskan diri dari kekuasaan Makasar. Sebagai akibatnya Aru Palaka bersekutu dengan VOC untuk menghancurkan Makasar.

RAJA RAJA KERAJAAN MAKASSAR

Raja Makasar yang pertama memeluk agama Islam adalah Karaeng Matoaya (Raja Gowa) yang bergelar Sultan Alaudin yang memerintah Makasar tahun 1593 – 1639 dan dibantu oleh Daeng Manrabia (Raja Tallo) sebagai Mangkubumi bergelar Sultan Abdullah. Sejak pemerintahan Sultan Alaudin kerajaan Makasar berkembang sebagai kerajaan maritim dan berkembang pesat pada masa pemerintahan raja Muhammad Said (1639 – 1653). Selanjutnya kerajaan Makasar mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan Sultan Hasannudin (1653 – 1669). Pada masa pemerintahannya Makasar berhasil memperluas wilayah kekuasaannya yaitu dengan menguasai daerah-daerah yang subur serta daerah-daerah yang dapat menunjang keperluan perdagangan Makasar. Perluasan daerah Makasar tersebut sampai ke Nusa Tenggara Barat.
Karaeng Matoaya
Sultan Hasanuddin
KEJAYAAN KERAJAAN MAKASSAR

Keputusan penguasa kerajaan Makasar untuk memeluk agama Islam menimbulkan dmapak tersendiri bagi kehidupan kerajaan Makasar. Kerajaan Makasar menjadi kerajaan yang tak tertandingi di Sulawesi Selatan. Penguasa Makasar juga berusaha mengislamkan kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi Selatan. Langkah pertama untuk merealisasikan tujuannya ialah dengan mengajak kerajaan Bone dan Soppeng memeluk agama Islam, akan tetapi, kedua kerajaan itu menolak. Dengan itu meletuslah pertempuran antara kerajaan Makasar dengan Tellumpocco (gabungan kerajaan Soppeng, Wajo, dan Bone). Awalnya, Tellumpoco berhasil mengalahkan kerajaan Makasar. Namun, pada tahun 1609 M saat perang kembali pecah, maka kerajaan Makasar mampu mengalahkan Tellumpoco. Atas dasar tersebut, Soppeng bersedia menganut agama Islam pada tahun 1609 M, diikuti oleh Wajo pada 10 Mei 1610 M, dan Bone pada 23 November 1611 M. Setelah Sultan Hasanudin meninggal dunia, maka tahta kekuasaan kerajaan Makasar diberikan kepada Sultan Muhammad Said dibantu oleh Karaeng Pattingaloang. Ketika Sultan Muhammad Said memerintah, kerajaan Makasar mengalami masa kejayaan sampai berlanjut ke Sultan Hasanudin.

Nama Sultan Muhammad Said terkenal sampai ke berbagai negeri di Asia. Hal ini tidak terlepas dari peranan Karaeng Pattingaloang yang memiliki keterampilan berdiplomasi. Namun, tidak banyak literatur yang menggambarkan kerajaan Makasar saat diperintah oleh Sultan Muhammad Said. Setelah Sultan Muhammad Said meninggal dunia, maka ia digantikan oleh anaknya yang bernama Sultan Hasanudin yang lahir pada 12 Januari 1613 M. dia sendiri merupakan raja Gowa ke-16 dan raja Makasar ke 3. Sultan Hasanudin kecil memiliki nama I Mallombasa dan setelah naik tahta bergelar Daeng Mattawang. Sebelum Sultan Hasanudin naik tahta, ia juga pernah menjabat sebagai raja negeri Bonto Mangape, dan juga pernah duduk sebagai dewan kerajaan sebagai Karaeng yang mengurusi pendidikan anak-anak bangsawan. Di bawah pemerintahan Sultan Hasanudin lah kerajaan Makasar mengalami masa keemasan dan menjadi pusat perdagangan Indonesia Timur. Beberapa faktor yang berperan dalam hal itu ialah :
  1. Kerajaan Makasar terletak sangat strategis yaitu terletak di muara sungai, dan di depannya terdapat gugusan pulau yang dapat melindungi pelabuhan dari angina maupun gelombang besar.
  2. Jatuhnya Malaka pada tahun 1511 M menyebabkan banyak orang memindahkan tempat perdagangan ke daerah yang belum dikuasai oleh asing
  3. Politik Sultan Agung yang bersifat agraris dan non maritim banyak melemahkan armada laut di pantai utara Jawa.
Kerajaan Makasar berkembang cepat sebagai kerajaan maritime dengan kapal-kapal jenis Pinisi dan Lombo nya. Suku Makasar atau bugis menguasai lautan di Indonesia, bahkan sampai ke Australia, Siam, dan Sailan.

PENINGGALAN KERAJAAN MAKASSAR

1. Istana Balla Lompoa
Istana ini teletak di Kelurahan Sungguminasa, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, yang Didirikan oleh Raja Gowa ke-35 I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bonionompo Sultan Muhammad Tahir Muhibuddin Tumenangari Sungguminasa. Saat ini, istana dengan 54 tiang, enam jendala di sisi kiri dan empat jendela di depan difungsikan sebagai Museum Balla Lompoa yang menyimpan benda-benda kerajaan.
Istana Balla Lompoa
2. Masjid Katangka
Masjid al-Hilal atau lebih dikenal dengan Masjid Katangka merupakan Masjid Kerajaan Gowa yang dibangun pada abad ke-18. Penamaan Katangka berasal dari bahan dasar masjid yang dibuat dari pohon katangka. Masjid berada di sebelah utara Kompleks Makam Sultan Hasanuddin yang diyakini sebagai tempat berdirinya Istana Tamalate, istana raja Gowa ketika itu. Meski sederhana, masjid ini diyakini sebagai masjid tertua di Sulawesi Selatan.
Masjid Katangka
3. Benteng Ujung Pandang
Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang merupakan benteng peninggalan Kerajaan Gowa Tallo yang terletak di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Benteng ini dibangun pada 1545 oleh Raja Gowa kesembilan I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa’risi’ kallonna. Pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas dari Pegunungan Karst, Maros.
Benteng Ujung Pandang
RUNTUHNYA KERAJAAN MAKASSAR

Keberhasilan Sultan Hasanudin dalam menguasai perdagangan di wilayah Timur membuat pihak Belanda was-was karena mereka juga memiliki kepentingan dalam hal perdagangan rempah-rempah di Indonesia. Oleh karena itu, sering terjadi pertempuran-pertempuran antara pedagang Makasar dengan pihak Belanda. Bahkan, orang Makasar berani menyita kapal-kapal milik Belanda dan juga menyerang Maluku yang sudah dikuasai oleh Belanda. 

Hal ini membuat berang Belanda. Lalu, mereka berkeinginan menyerang langsung kerajaan Makasar. Mereka juga memanfaatkan dendam-dendam lama dari Tellumpoco yang memang terlalu dipaksakan untuk mengakui Makasar. Penyerangan pun dilakukan dengan dipimpin oleh Aru Palaka yang merupakan raja Bone. Dalam pertempuran itu, Belanda berhasil mengalahkan kerajaan Makasar dan juga berhasil menguasai ibukota Makasar. Pihak Makasar terpaksa melakukan perundingan yang dikenal dengan Perjanjian Bongaya pada tahun 1667 M. 
isi dari perjanjian tersebut adalah :
  • Makasar melepaskan beberapa wilayah strategis ke VOC
  • VOC berhak memegang monopoli perdagangan di Makasar
  • VOC berhak mendirikan benteng-benteng pertahanan di Makasar
Setelah Sultan Hasanudin mangkat, maka anaknya yang bernama Mapasomba menggantikan ayahnya tersebut. Dalam kenyataannya, Mapasomba pun sangat menentang kehadiran VOC di Makasar. Namun, tanpa perencanaan yang matang ditambah dengan kekuatan pasukan Makasar yang sudah tidak sekuat sebelumnya, maka jatuhlah kerajaan Makasar ke tangan Belanda.

Previous Post
Next Post

0 komentar:

close